Jumat, 15 Januari 2016

CINTA DI PERTENGAHAN 30

Entah mengapa kopi ini terasa begitu nikmat, sebelumnya aku bukanlah penikmat kopi dan tidak mengerti mengapa banyak orang yang menyukai kopi. Meminum bubuk biji  kopi  yang disangrai sampai hitam dan pahit adalah hal yang paling tidak masuk akal bagiku. Seperti hidup yang selalu mencari kepahitan sedangkan yang manis-manis sudah menunggu dengan tangan terbuka. Kopi ini masih mengepul, aromanya harum menenangkan. Ku sesap berlahan dan ku pandang senja di atas balkon rumah. Kurasa aku mulai terkena pengaruh kafein dari kopi ini karena senja ini terasa lebih indah. Kalau kuingat sudah berapa tahun aku tidak pernah menikmati keindahan semacam ini? Warna langit keemasan semburat diantara awan-awan, suasana tenang. Tampak dua petani mulai meninggalkan sawah setelah seharian bergulat dengan lumpur yang memberi harapan akan panen besar yang akan didapat. Tiba-tiba handphone bergetar, kulihat di layar ada namanya, nama yang lama tetapi kurasa aku baru mengenalnya. kugeser tombol hijau dan kutempatkan handphone itu di telingaku.

“ sore... “ suara yang akhir-akhir ini sangat akrab di telingaku. “ sore mas... ” jawabku riang , entah mengapa suaranya memberikan kebahagiaan di hatiku. Kuabaikan kopi yang semula telah memberiku ketenangan dan kubiarkan menjadi dingin.

______

 Dia dulu satu kantor denganku, hanya saja dulu aku tidak akrab bahkan merasa tidak mengenalnya. Setelah delapan tahun kami dipertemukan kembali lewat acara di kantor. Rupannya selama ini dia dipindahtugaskan ke daerah lain.  Dan dia masih mengingatku setelah delapan tahun meski aku tidak pernah merasa pernah mengobrol bahkan mengenalnya. Hal itu membuatku malu, malu karena di usia ku yang sekarang aku sudah memiliki masalah dengan memori otak. Usia ku masih 35, terlalu dini untuk mengklaim aku sudah terserang pikun.   Tapi begitulah adanya , aku sama sekali tidak mengingat dia.

Tetapi setelah acara itu tidak perlu waktu lama bagiku mengenalnya, dan tidak perlu waktu lama untuk ku tertarik dengan dia. Dia adalah oase yang menyegarkan dikala hidupku mulai terasa hambar.  Dia adalah pencerah dikala jiwaku serasa suram. Dia adalah gairah yang selama ini kurindukan.  Dia ... tak habis kata untuk menggambarkan betapa berartinya kehadiran dia di tengah serpih serpih hidup yang kucoba susun dan pertahankan. Dia kekuatanku untuk bertahan dan kompromi dengan segala yang ada di sekitarku.

Terdengar lebay, aku akui... aku bukan gadis 17 tahun yang sedang merasakan cinta pertamanya. Aku perempuan dewasa yang sedang jatuh cinta. Itu saja...
Kerinduanku padanya kuterbangkan lewat pesan-pesan yang mengalir melalui udara, mengikuti arah angin yang tahu pasti kemana harus membawa pesan – pesan itu. Aku tidak bisa memilikinya di malam hari, aku juga tidak bisa memilikinya di pagi hari, aku hanya bisa menyesapinya lewat imajinasi yang jauh lebih luas dari dunia itu sendiri. Ku hirup aroma manis tubuhnya melalui simbol-simbol digital dan bilangan biner. Kurasakan lengannya memeluk dan suara nafasnya lekat di telingaku dengan pertolongan gelombang elektromagnet menemani dikala malam mulai merangkak pagi. 

Kusimpan kasih sayangnya di sisi terdalam hatiku, dimana bahkan jiwa ku sendiri  tidak bisa memasukinya. Kupastikan kasih sayangku selalu menjaganya seperti kasih sayangnya yang selalu menjaga ku.  

_______

“ udahan  dulu mas, mau nyiapin makan anak-anak “ kataku mengakhiri percakapan senja itu.
 “ jaga makan anak-anak ya “ ujar mu.  Aku tersenyum, kalimat  yang slalu kau ucapkan soal anak-anakku.

Ku tekan tombol merah bertuliskan akhiri di hand phone ku. Kuambil cangkir kopi yang telah mendingin itu.  Kusesap berlahan , masih terasa nikmat senikmat perasaan ku untuknya. Yang sampai kapanpun tetap tersimpan rapi di hatiku yang terdalam. Tanpa seorang pun tahu, biarlah hanya aku, dia, angin, udara, dan senja yang tahu. Cerita ini milik kami, hanya kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar