Entah mengapa kopi ini terasa begitu nikmat, sebelumnya aku
bukanlah penikmat kopi dan tidak mengerti mengapa banyak orang yang menyukai
kopi. Meminum bubuk biji kopi yang disangrai sampai hitam dan pahit adalah
hal yang paling tidak masuk akal bagiku. Seperti hidup yang selalu mencari
kepahitan sedangkan yang manis-manis sudah menunggu dengan tangan terbuka. Kopi
ini masih mengepul, aromanya harum menenangkan. Ku sesap berlahan dan ku
pandang senja di atas balkon rumah. Kurasa aku mulai terkena pengaruh kafein
dari kopi ini karena senja ini terasa lebih indah. Kalau kuingat sudah berapa
tahun aku tidak pernah menikmati keindahan semacam ini? Warna langit keemasan
semburat diantara awan-awan, suasana tenang. Tampak dua petani mulai
meninggalkan sawah setelah seharian bergulat dengan lumpur yang memberi harapan
akan panen besar yang akan didapat. Tiba-tiba handphone bergetar, kulihat di
layar ada namanya, nama yang lama tetapi kurasa aku baru mengenalnya. kugeser
tombol hijau dan kutempatkan handphone itu di telingaku.
“ sore... “ suara yang akhir-akhir ini sangat akrab di
telingaku. “ sore mas... ” jawabku riang , entah mengapa suaranya memberikan
kebahagiaan di hatiku. Kuabaikan kopi yang semula telah memberiku ketenangan
dan kubiarkan menjadi dingin.
______
Dia dulu satu kantor
denganku, hanya saja dulu aku tidak akrab bahkan merasa tidak mengenalnya. Setelah
delapan tahun kami dipertemukan kembali lewat acara di kantor. Rupannya selama
ini dia dipindahtugaskan ke daerah lain.
Dan dia masih mengingatku setelah delapan tahun meski aku tidak pernah
merasa pernah mengobrol bahkan mengenalnya. Hal itu membuatku malu, malu karena
di usia ku yang sekarang aku sudah memiliki masalah dengan memori otak. Usia ku
masih 35, terlalu dini untuk mengklaim aku sudah terserang pikun. Tapi begitulah
adanya , aku sama sekali tidak mengingat dia.
Tetapi setelah acara itu tidak perlu waktu lama bagiku
mengenalnya, dan tidak perlu waktu lama untuk ku tertarik dengan dia. Dia
adalah oase yang menyegarkan dikala hidupku mulai terasa hambar. Dia adalah pencerah dikala jiwaku serasa
suram. Dia adalah gairah yang selama ini kurindukan. Dia ... tak habis kata untuk menggambarkan
betapa berartinya kehadiran dia di tengah serpih serpih hidup yang kucoba susun
dan pertahankan. Dia kekuatanku untuk bertahan dan kompromi dengan segala yang
ada di sekitarku.
Terdengar lebay, aku akui... aku bukan gadis 17 tahun yang
sedang merasakan cinta pertamanya. Aku perempuan dewasa yang sedang jatuh
cinta. Itu saja...
Kerinduanku padanya kuterbangkan lewat pesan-pesan yang
mengalir melalui udara, mengikuti arah angin yang tahu pasti kemana harus
membawa pesan – pesan itu. Aku tidak bisa memilikinya di malam hari, aku juga
tidak bisa memilikinya di pagi hari, aku hanya bisa menyesapinya lewat
imajinasi yang jauh lebih luas dari dunia itu sendiri. Ku hirup aroma manis tubuhnya
melalui simbol-simbol digital dan bilangan biner. Kurasakan lengannya memeluk dan
suara nafasnya lekat di telingaku dengan pertolongan gelombang elektromagnet
menemani dikala malam mulai merangkak pagi.
Kusimpan kasih sayangnya di sisi terdalam hatiku, dimana
bahkan jiwa ku sendiri tidak bisa
memasukinya. Kupastikan kasih sayangku selalu menjaganya seperti kasih
sayangnya yang selalu menjaga ku.
_______
“ udahan dulu mas,
mau nyiapin makan anak-anak “ kataku mengakhiri percakapan senja itu.
“ jaga makan
anak-anak ya “ ujar mu. Aku tersenyum, kalimat yang slalu kau ucapkan soal
anak-anakku.
Ku tekan tombol merah bertuliskan akhiri di hand phone ku. Kuambil
cangkir kopi yang telah mendingin itu. Kusesap
berlahan , masih terasa nikmat senikmat perasaan ku untuknya. Yang sampai
kapanpun tetap tersimpan rapi di hatiku yang terdalam. Tanpa seorang pun tahu,
biarlah hanya aku, dia, angin, udara, dan senja yang tahu. Cerita ini milik
kami, hanya kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar